Mampukah Calon Menlu AS Menyelesaikan Tantangan HAM di Asia Tenggara?

Nuansapaginews.com Assalamualaikum semoga kita selalu bersyukur. Pada Blog Ini aku ingin berbagi pengetahuan mengenai News, Dw yang menarik. Penjelasan Mendalam Tentang News, Dw Mampukah Calon Menlu AS Menyelesaikan Tantangan HAM di Asia Tenggara Jangan berhenti di tengah lanjutkan membaca sampai habis.
Table of Contents
Presiden Amerika Serikat terpilih, Donald Trump, telah menunjuk Marco Rubio sebagai calon Menteri Luar Negeri. Rubio, yang dikenal sebagai salah satu tokoh yang tegas terhadap Cina, bergabung dengan Mike Waltz yang ditunjuk sebagai Penasihat Keamanan Nasional dan Elise Stefanik yang diusulkan menjadi Duta Besar AS untuk PBB.
Pada tahun 2018, Rubio berperan dalam merancang undang-undang yang melarang pejabat Cina memasuki AS jika mereka terlibat dalam melarang warga AS mengunjungi Tibet, yang merupakan wilayah yang diklaim oleh Cina. Selain itu, Rubio juga pernah mengusulkan sanksi terhadap Cina terkait penindasan terhadap etnis Uighur serta tindakan keras yang terjadi di Hong Kong. Sebagai dampaknya, Cina memasukkan nama Rubio ke dalam daftar hitam mereka.
Trump menyebut Rubio sebagai "pendukung kuat bagi bangsa kita, sahabat sejati bagi sekutu kita, dan pejuang yang tidak kenal takut yang tidak akan pernah menyerah kepada musuh kita," melalui akun media sosialnya di Truth Social.
Rubio, yang pernah mencalonkan diri sebagai presiden pada 2016 melalui Partai Republik, memiliki rekam jejak yang panjang dalam mendukung demokrasi dan hak asasi manusia, terutama di kawasan Asia Tenggara. Pada 2022, ia mengecam kekejaman kediktatoran Hun Sen di Kamboja yang merusak demokrasi di negara tersebut dan memberi ruang bagi eksploitasi oleh Cina. Rubio juga berusaha memperkenalkan berbagai undang-undang untuk mendukung demokrasi di Kamboja, meskipun sebagian besar usulan tersebut tidak berhasil disahkan di Kongres.
Selain itu, Rubio mendukung kebijakan yang menentang Partai Komunis Vietnam yang membatasi kebebasan berbicara dan mendorong AS untuk menjatuhkan sanksi lebih berat terhadap junta militer Myanmar setelah kudeta 2021. Phil Robertson, seorang pakar dari Asia Human Rights and Labour Advocates, menilai bahwa selama di Kongres, Rubio selalu menyoroti masalah hak asasi manusia di kawasan Asia-Pasifik. Diharapkan hal tersebut akan terus dilakukannya jika ia menjabat sebagai Menteri Luar Negeri AS.
Rubio juga dikenal memiliki pemahaman yang mendalam mengenai pentingnya membangun aliansi internasional, yang berbeda dengan pendekatan Trump yang lebih sering berfokus pada keuntungan langsung bagi AS. Trump pernah menyatakan rencananya untuk mengenakan tarif tinggi hingga 60% pada barang impor dari Cina dan 10-20% pada barang dari negara lain. Sebaliknya, Rubio berpendapat bahwa AS harus memberikan dukungan kepada Filipina dalam menghadapi tekanan dari Cina di Laut Cina Selatan. Tahun lalu, ia menulis artikel yang menggarisbawahi pentingnya hubungan AS dengan Filipina untuk menjaga stabilitas kawasan Indo-Pasifik.
Namun, tantangan terbesar bagi Rubio adalah sejauh mana ia dapat bertindak independen di dalam kabinet Trump. Beberapa pengamat meragukan apakah Rubio dapat menjalankan kebijakan luar negeri secara mandiri. Kenneth Roth dari Human Rights Watch menyebut Rubio dan Waltz sebagai kritikus tajam terhadap pelanggaran hak asasi manusia oleh Cina, namun juga mempertanyakan apakah keduanya akan benar-benar fokus pada hak asasi tanpa terpengaruh oleh kepentingan politik lainnya.
Editorial Washington Post pada 12 November mengungkapkan bahwa keberhasilan atau kegagalan pemerintahan Trump yang baru akan sangat bergantung pada apakah suara-suara seperti Rubio akan didengar dalam pengambilan keputusan kebijakan luar negeri.
Pencalonan Rubio ini sedikit meredakan kekhawatiran Eropa terkait arah kebijakan luar negeri Trump yang baru. Pada Februari 2022, setelah invasi Rusia ke Ukraina, Rubio mendukung undang-undang yang bertujuan memperkuat pertahanan Ukraina dan menjatuhkan sanksi terhadap Rusia. Ia juga berperan dalam merancang aturan yang mencegah Presiden AS keluar dari aliansi NATO tanpa persetujuan Senat.
Juru bicara Uni Eropa, Peter Stano, mengatakan bahwa Uni Eropa ingin bekerja sama dengan pemerintahan Trump mendatang untuk agenda transatlantik yang lebih kuat, mengingat pentingnya hubungan EU-AS dalam menghadapi tantangan global.
Pemerintahan Biden sebelumnya dikritik karena dianggap kurang vokal dalam menyuarakan pelanggaran hak asasi manusia di negara-negara seperti Vietnam dan Indonesia, yang justru menjadi mitra strategis AS. Dari 11 negara di Asia Tenggara, hanya Timor Leste yang dianggap "bebas" menurut indeks kebebasan terbaru dari Freedom House, sementara negara-negara seperti Laos, Kamboja, Brunei, dan Vietnam dinilai sebagai "tidak bebas."
Senat AS akan segera memutuskan apakah akan mengonfirmasi atau menolak nominasi kabinet Trump pada masa jabatannya yang akan dimulai pada Januari mendatang.
Demikian uraian lengkap mengenai mampukah calon menlu as menyelesaikan tantangan ham di asia tenggara dalam news, dw yang saya sajikan Jangan ragu untuk mencari tahu lebih lanjut tentang topik ini ciptakan peluang dan perhatikan asupan gizi. Silakan share ke orang-orang di sekitarmu. Terima kasih